Layakkah aku memanggilmu Ayah ??

    Membaca postingan salah seorang teman yang baru saja kehilangan ayah yang dicintainya, membuatku berpikir dan ingin menuangkan semua rasa yang sampai saat ini masih tersimpan rapi, atau bisa dibilang tidak pernah terlintas dalam ingatan tentang hal ini, entahlah apakah ini adalah momen saya menyadari bahwa saya terlahir ke dunia ini disebabkan oleh seorang manusia yang sering disebut "Ayah ". ya, tepat! saya ternyata punya ayah, meski tak sempat terucap kata ayah untuk memanggil seseorang, namun tak bisa dipungkiri saya punya ayah, jelas saja, "tidak mungkin ada saya di dunia ini jika tanpa seorang ayah", itu adalah kalimat yang selalu ibu katakan jika saya mencoba membenci ayah.

         Dalam tulisan teman saya, beliau menyampaikan rasa bangganya mempunyai seorang ayah meski dalam masa hidupnya tak banyak waktu mereka bersama, bahkan ada berbagai momen yang sampai saat ini tidak diketahuinya. kebaikan yang disampaikan oleh orang lain tentang ayahnya mungkin akan terus menambah rasa bangganya terhadap ayahnya. selamat teman, kerana kamu anak yang beruntung bisa punya kebanggaan, yang mungkin ini akan selalu terkenang hingga akhir hayatmu. 

       Jika orang bertanya, kenapa berasa tidak punya ayah? kenapa tak pernah memanggil ayahmu dengan sebutan ayah? jawabannya adalah karena takdir yang mengharuskan saya tidak pernah bisa memanggil ayah meski hanya sekali dalam seumur hidup saya. perceraian ibu dengan ayah semasa saya masih dalam kandungan mungkin akan cukup mengerikan dan menyedihkan jika itu menjadi sebuah cerita dalam novel, semua pembaca mungkin akan emosi dan menangis tersedu hingga menghujat tokoh yang ada dalam cerita, atau mungkin akan melempar buku sambil berkata " Bangsat!!!, laki-laki macam apa yang mau meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil!!"

         Seperti kisah fiksi memang, jika hal ini direnungi, ko ada ya manusia tega seperti itu, namun itulah kenyataannya. meski demikian ibu saya tidak pernah membenci atau bahkan membuat saya membencinya, dia selalu terlihat tegar bahkan terlihat biasa saja ketika satu waktu saya bertanya tentang masa lalunya. entah dia sudah tidak perduli, entah terlalu cinta, entah biasa aja, entahlah hanya ibu yang tahu bagaimana perasaannya pada saat itu. semoga bukan karena ibu saya nggak waras sehingga tidak merasakan apapun. 

         Tak ada kata benci, tak ada kata dendam dalam diri ibu saya, sehingga ketika saya beranjak dewasa tumbuh keinginan bertemu untuk sekedar bertegur sapa dengan yang namanya ayah. ibu saya mengijinkan bahkan bersedia mengantar untuk menemuiya. hingga pada akhirnya saya bertemu. bingung, tak ada kata yang bisa keluar dari bibir saya pada waktu itu. Hanya lantai berwarna putih yang bisa saya tatap saat itu. kepala resleting tas yang saya mainkan untuk meredam emosi sampai pada akhirnya harus terlepas tanpa saya sadari. ocehan ibu tiri yang tak sempat saya perhatikan waktu itu cukup membuat telinga pengang dan ingin segera mengakhiri pertemuan. 

          Sama seperti orang lain ketika akan bertemu ayah, dalam bayangan dia akan merindukan anaknya yang selama ini tak pernah ditemuinya. akan ada pelukan hangat, akan ada doa, akan ada nasihat yang mungkin akan berguna bagi anaknya meski hanya satu kalimat saja. namun pada akhirnya pelukan itu tak ada, kata-kata rindu tak sempat terdengar, nasihat apalagi, dia hanya bertanya "dengan siapa kesini? sekolah sudah kelas berapa? akupun menjawab dengan seperlunya. iri melihat adik tiri dengan bebasnya memangil ayah, dan mendapat hangatnya pelukan ayah. hingga satu pertanyaan muncul, layakkah aku memanggilmu ayah? 

        Seperti manusia asing berada di depan ayah sendiri, suasana tegang, sedih dan kecewa. mungkin semua orang dapat membayangkan bagaimana perasaan saya pada saat itu. pulang dengan penuh kesedihan hingga pada akhirnya saya sadar, saya harus kembali kuat, saya harus kembali melanjutkan hiup meski tanpa belaian kasih sayang seorang ayah. berharap disetiap sujudna ayah akan mendoakan, berharap disetiap waktunya ayah akan megingat saya sebagai anaknya, bukan seperti orang lain yang tak sempat dia kenal.

       Mungkin saya salah satu dari beribu atau bahkan dari berjuta anak manusia yang tak sempat memanggil ayah meski punya ayah. hingga ayah tutup usia. nasihat yang kudambakan akhirnya terdengar sehari sebelum beliau tiada, sempat menulis pesan di atas secarik kertas karena pada waktu itu pita suaranya rusak karena dipenuhi tumor kelenjar. dalam tulisannya dia mengatakan, ayah doakan semoga anak ayah bahagia, jangan pernah berpikir untuk berpisah dengan suami dan anak menjadi korban meski masalahmu cukup berat untuk ditanggung. kalimat itu akan saya ingat, semoga ayah tenang di sisiNya. 

        Seburuk apapun ayahmu akan tetap menjadi ayahmu, dalam hatinya akan selalu ada anaknya meski tak sempat sekalipun memberikan pelukan hangatnya. selalu mendoakan meski tak sempat terucap. tak akan ada yang dapat menggantikan posisi ayahmu, pertalian darah gak akan pernah terlepas hanya dengan kata perceraian. tetap semangat bagi kamu yang saat ini hidup tanpa belaian kasih sayang seorang ayah. hidup harus terus berjalan meski tak semulus yang dibayangkan. akan ada masa kamu merasa bahagia hidup tanpa seorang ayah. 





Komentar